Debat Naikkan Ojol jadi Karyawan Tetap: Untung atau Rugi?
jabar.
, DEPOK – Tuntutan dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) yang disampaikan pada keterangan tertulis 29 April 2025, yang meminta agar pengemudi ojek online (ojol) dijadikan pekerja tetap sebenarnya telah menjadi topik diskusi dari berbagai pihak sejak lama.
Wacana ini muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran mengenai perlindungan yang kurang memadai bagi para pengemudi, terutama dalam hal jaminan sosial dan hak-hak pekerja lainnya.
Berdasarkan pandangan dari Aspek Indonesia, apabila para pengemudi ojek online diangkat menjadi pegawai tetap, maka mereka akan mendapatkan berbagai bentuk perlindungan yang lebih optimal seperti fasilitas kesehatan, polis asuransi, serta jaminan untuk hari tua yang sebelumnya tidak sepenuhnya diterima karena sifat pekerjaannya yang bersifat fleksibel.
Akan tetapi, kebijakan tersebut juga menimbulkan beraneka macam pandangan dari sejumlah kelompok, termasuk para pakar ekonomi, praktisi, sampai dengan para supirnya langsung.
Sebagian orang mendukung gagasan itu, berpendapat bahwa hal ini bisa menciptakan perasaan keamanan dan stabilisasi ekonomi untuk para supir. Namun demikian, sejumlah pihak juga meragukan dan cemas terhadapnya.
Diskusi tentang mengubah driver ojek online menjadi karyawan tetap telah menarik perhatian para pakar ekonomi. Mereka mempertimbangkan efeknya pada sektor tersebut dan perekonomian digital secara umum.
Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai langkah positif dalam memberikan perlindungan lebih kepada pengemudi, namun ada pula yang menganggapnya dapat merugikan banyak pihak.
Direktur Ekonomi dari Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menekankan pentingnya pertimbangan matang bila kebijakan tersebut diimplementasikan, terutama soal apakah susunan gaji masih bisa memberikan dorongan yang cukup kepada para sopir.
“Dengan struktur kerja yang lentur seperti sekarang ini, para pengemudi bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasaran serta memperoleh pendapatan beragam. Apabila sistem tersebut diubah jadi karyawan tetap, maka kesempatan untuk mengambil job akan dibatasi, sehingga hal itu mungkin saja merugikan mereka yang sangat bergantung pada pemasukan tambahan selama periode sibuk,” katanya.
Dirinya juga menekankan, pentingnya mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi bagi para pengemudi yang selama ini mendapat manfaat dari sistem fleksibel tersebut.
Saat ini, Ekonom Senior dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyarankan untuk mempertimbangkan kebijakan tersebut dengan sangat teliti.
“Kebijakan ini perlu dipertimbangkan dari segi multifaset, tak sekadar dari perspektif perlindungan sosial melainkan juga efeknya pada struktur bisnis dan daya saing sektor tersebut. Bila posisi driver dirubah, mungkin banyak individu yang mencari pekerjaan yang lentur dengan gaji harian bakal merugi,” katanya.
Dirinya menambahkan, bahwa kebijakan seperti ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan industri yang dapat menyediakan banyak peluang kerja dengan fleksibilitas tinggi.
Kepala Urusan Publik Grab Indonesia, Tirza Munusamy mengatakan bahwa aturan tersebut justru dapat membahayakan lingkungan ekonomi transportasi digital yang sudah berkembang.
“Jika pengemudi menjadi karyawan, maka akan ada seleksi, kuota, dan pembatasan jam kerja. Saat ini, siapa pun bisa mendaftar dan langsung bekerja tanpa batasan waktu,” terangnya.
Dia menekankan bahwa sistem pekerjaan yang ada sekarang malah menjadi lapisan perlindungan sosial untuk banyak orang, khususnya dalam situasi ketidakstabilan ekonomi.
“Apabila semua berubah menjadi pekerja, tingginya hambatan masuk akan meningkat. Hanya segelintir orang yang dapat bekerja, sedangkan jutaan orang lainnya akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh penghidupan,” ungkap Tirza.
Efeknya tak hanya akan dialami oleh para driver partner saja, namun juga terhadap berbagai UMKM yang mengandalkan pelayanan dari GrabFood, GrabMart, serta sejenisnya.
Selanjutnya, Tirza juga menyebutkan bahwa apabila para pengemudi dijadikan karyawan tetap, perusahaan harus memikul beban biaya tetap yang belum tentu sesuai dengan volume permintaannya.
“Biaya operasional dapat meningkat tajam, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tarif layanan yang perlu ditanggung oleh pelanggan,” terangnya.
Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, mengemukakan bahwa keputusan tersebut harus ditinjau berdasarkan aspek kelangsungan bisnis dan kesempatan kerja bagi publik.
“Menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap dapat mengubah keseimbangan yang sudah ada antara fleksibilitas kerja dan akses ekonomi. Jika status mereka berubah, sektor ini akan kehilangan karakter inklusivitas yang membuatnya dapat diakses oleh hampir semua orang,” ucapnya.
Modantara juga menggarisbawahi bahwa perubahan tersebut bakal berdampak tak cuma pada para supir, tapi juga komunitas yang mengandalkan jasa ojek online sebagai pilihan transportasi ekonomis dan praktis.
Akan tetapi, dalam perselisihan terkait posisi driver ojek online, juga hadir beberapa solusi yang dianggap sebagai jalan tengah yang pas.
Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman menyarankan supaya para pengemudi ojek online diperhitungkan sebagai salah satu bagian dari pelaku usaha UMKM.
Konsep tersebut memperoleh sambutan positif dari sejumlah orang, seperti halnya dengan ekonom Wijayanto Samirin, dia menganggap bahwa ini merupakan tindakan yang amat sesuai.
“Para driver ojol bakal meraih manfaat bila termasuk dalam golongan UMKM, di antaranya adalah pertumbuhan bisnis dan pinjaman dari bank,” katanya.
“Saya melihat hal ini sangat positif. Jika diberi status sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), mereka dapat mengembangkan beragam kegiatan usaha mulai dari sekadar menjadi pengemudi hingga menjelajahi bidang bisnis yang lebih luas lagi. Terdapat potensi pertumbuhan serta ekspansi ke sektor bisnis lainnya. Di samping itu, tersedianya kredit dengan suku bunga terendah bagi UMKM dan berbagai program dukungan oleh Kementerian UMKM,” tambahnya.
Pandangan mirip juga diutarakan oleh Kepala Pusat Ekonomi Digital dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), Izzudin Al Farras. Dia menyebutkan bahwa ide tersebut merupakan solusi tengah yang membolehkan para sopir masih menjaga fleksibilitas pekerjaannya sementara dapat menikmati manfaat dari bermacam-macam program Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“Bila terdapat bagian dari rangka kebijakan yang menjamin pendaftaran driver ojek online sebagai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), hal tersebut akan memberi peluang kepada para pengemudi untuk meraih manfaat sebagaimana layaknya pebisnis, seperti contohnya dalam bidang pendidikan keuangan dan peningkatan kapabilitas teknologi informasi,” jelas dia.
Di samping itu, ia menyebutkan bahwa dengan bergabung sebagai pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM), para driver ojek online pun dapat meraih manfaat berupa jaminan sosial yang lebih baik.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi dari Center for Economic and Law Studies (CELIOS), turut mensupport ide tersebut asalkan aturan yang disusun berada di bawah naungan Kementerian UMKM.
“Mengingat hal tersebut, sepertinya regulasi saat ini paling sesuai berada di bawah Kementerian UMKM. Oleh karena itu, model kolaborasi tak boleh mirip pekerja lepas yang menuntut waktu kerja tertentu atau lebih. Peraturan perlu disusun bersama-sama dengan asosiasi supir dengan prinsip kesetaraan, termasuk soal tarif,” jelasnya.
Untuk sebagian besar supir, bekerja secara kontrak pastinya menawarkan manfaat seperti perlindungan sosial dan pemasukan yang lebih konsisten.
Meskipun demikian, kebanyakan sopir menikmati fleksibilitas pekerjaan sebagai aspek penting dari bidang ini. Agus, seorang driver ojek online di Jakarta, menyampaikan,
“Saya memutuskan untuk menjadi pengemudi ojek online karena saya dapat menentukan jam kerja berdasarkan kenyamanan saya pribadi. Jika saya menjadi pegawai tetap, saya takut akan hilangnya keleluasaan ini,” ungkapnya.
Selain itu, beberapa pengemudi juga khawatir bahwa dengan status pekerja tetap, mereka akan dibebani kewajiban untuk memenuhi target tertentu atau bekerja pada jam-jam tertentu yang bisa mengurangi penghasilan mereka.
“Pendapatan saya biasanya meningkat selama jam-jam sibuk atau ketika berada di tempat dengan jumlah penumpang yang lebih banyak,” jelas Agus.
Siti, yang merupakan seorang driver OJOL di Yogyakarta, juga mengungkapkan bahwa dia lebih memilih untuk tetap bekerja sesuai dengan kesepatan waktu ketika dia merasa mampu dan siap.
“Jadi bisa mengantar ke sekolah dahulu, lalu lanjut dengan pekerjaan online-ku. Jika harus menjadi karyawan tetap, aku tidak yakin apakah akan dipilih atau bahkan mungkin aku serta para driver online lainnya berakhir dengan pemutusan hubungan mitra tanpa ada pekerjaan alternatif. Itu yang menurutku lebih mencemaskan,” ungkapnya.
Apabila aturan ini dilaksanankan, efeknya bisa bukan saja dialami oleh sopir ojek online, melainkan pula karyawan dalam bidang digital yang lain, contohnya kurir makanan ataupun supir antar paket.
Mereka mungkin pula berharap mendapatkan perlakukan serupa. Ini bisa menambah beban terhadap aturan agar semakin banyak posisi di bidang kerja digital diberi status permanen, sehingga dapat menyulitkan regulasi serta kebijakan industri secara umum.
Menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap, adalah isu yang memerlukan kajian mendalam dan pertimbangan hati-hati.
Walaupun banyak pihak setuju bahwa para pengemudi perlu memiliki perlindungan tambahan seperti asuransi sosial, tindakan tersebut seharusnya tidak merugikan sifat fleksibel yang merupakan keunggulan utama dari pekerjaan ini.
Dengan pendekatan yang bijaksana, kebijakan ini dapat menciptakan keseimbangan antara perlindungan sosial dan keberlanjutan industri yang menguntungkan semua pihak.
Konsep oleh Maman Abdurrahman, yaitu menjadikan pengendara ojek online sebagai bagian dari UMKM, mungkin menjadi solusi agar para pengemudi masih mendapatkan keuntungan seperti halnya UMKM namun tanpa mereduksi tingkat kelonggaran yang sudah mereka rasakan.
(mcr19/jpnn)